Sumber Foto : Daeng Oprek SH., MPd
Titik-titik hujan itu punya cerita, bagaimana ia bercerita tentang seorang bujang yang sangat kedingingan malam ini akibat “harga” mahar itu sangat mahal, walau tak ada ketetapan harga atau tolok ukur namun tetap dinilai mahal, dari segi mana ke-mahal-an itu bersemayam?. “Kemampuan lelaki sebagai pembuktian dirinya”, itu yang kerap mereka katakan. Akankah ke-mahal-an itu jaminan menggapai bahagia atau takkan pernah bertemu kata “cerai”, pisah, atau perseteruan akibat utang untuk memenuhi mahar?.
Hujan kerap punya cerita, pada bulan november dan desember adalah musim “kawin” apakah kawin juga seperti buah-buahan yang mengalami musim?. Kurasa tidak, sebab dari penuturan pemerhati adat bahwa bulan ini adalah bulan “baik” untuk melaksanakan pernikahan, jadi bukan kawin tapi nikah. Tidakkah hujan tahu itu, mana kawin dan mana nikah, malah hujan telah menjadi saksi bagaimana gaya pelaku kawin berkolaborasi, lalu bagaimana ketulusan pelaku nikah menyandarkan keihklasan berbagi, lalu sangat tahu bahwa hal ini adalah sakral.
Namun hujan juga menjadi saksi lentiknya jemari seorang gadis saat menggenggam kesegaran yang terpancar. Dan sang gadis itu menelisik dari kejauhan, ia hendak menggapai angan-angan yang sedang bergemuruh di luar sana, lalu sang gadis itu menari bersama titik-titik hujan, tak ada pilihan lain hanya menari, berlari kesana-kemari, menikmati setiap tumpahan titik-titik yang lembut mengenai ubun-ubunnya.
Titik-titik hujan kerap bercerita, bercerita bagaimana seeokor itik yang ditinggalkan induknya berkamuflase menjadi kambing, walau semua tahu ia adalah itik, tapi bagaimana mungkin berkamuflase jika kambing saja takut pada hujan. Cerita yang membingungkan memang, inilah muntahan pena malam ini tentang hujan bersama titik-titiknya yang tak berkesudahan seperti air liur yang deras mengalir akibat ngiler, di sinilah pula-lah cerita tentang malam-malam yang membingungkan kembali terjadi pada seorang bujang. Titik-titik hujan pernah mengiringi kenangan masa lalunya, kenangan pada seorang peranakan india, kenangan bersama dengan indo-eropa yang juga menggemari hujan. Bahkan kenangannya bersama peranakan jawa-makassar yang berlenggak-lenggok jaipongan saat hujannya tetes demi tetes mengiringi gamelan. Titik-titik hujan di setiap tahunnya menjadi saksi perjalanan sang lelaki ini.
Titik-titik hujan masih ingin bercerita, tapi malam ini titik-titik hujan ingin menjadi saksi dulu tentang pena yang tergores di tiap malamnya, kelak titik-titik hujan mengikuti alur pena yang tergores itu dan terangkum dalam sebuah cerita utuh, cerita yang memuat titik-titik hujan.
DaO